Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

“Negeri Ini Terlalu Hebat untuk Sekadar Keadilan”

https://www.tehiis.com/
Ketika suara rakyat dianggap bising dan keadilan hanya jadi jargon dalam baliho, puisi menjadi salah satu cara untuk menyampaikan amarah tanpa harus melempar batu. Berikut adalah satire puitis untuk mereka yang (katanya) menjaga rakyat…

Di negeri kami,

nyawa rakyat kecil adalah harga murah—

lebih murah dari secangkir kopi di Senayan.

Di negeri kami,

rakyat yang jatuh tak dibantu berdiri,

tapi dilindas...

biar sekalian tiada, katanya,

biar tak sempat protes, apalagi hidup.

Namanya Affan,

tukang ojek online,

bukan anggota dewan,

bukan konglomerat,

bukan pemilik tambang nikel atau sawit—

jadi ya wajar saja, katanya,

kalau nasibnya ditentukan oleh ban kendaraan taktis

dan bukan oleh nalar atau nurani.


Di negeri kami,

sorak sorai buruh dianggap ancaman nasional.

Teriakan “upah layak!” terdengar lebih menakutkan

daripada ledakan korupsi triliunan rupiah.

Makanya…

rakyat ditertibkan,

bukan didengarkan.

Mereka yang meminta roti,

diberi rotan.

Mereka yang minta kejelasan,

diberi gas air mata—dan kadang peluru nyasar.

Ah, betapa efisiennya republik ini.

Negara bisa tutup mata dengan sangat profesional.

Sudah sering rakyat tertindih,

tapi laporan selalu bilang:

“Kami sedang melakukan pendalaman.”

Entah siapa yang tenggelam,

siapa yang menyelam,

dan siapa yang malah berenang-renang di atas penderitaan.

Lihatlah,

kami punya aparat gagah, lengkap dengan tameng dan rantis—

siap siaga untuk menghadapi musuh negara:

buruh yang minta THR tepat waktu.

Canggih betul pertahanan kita,

bisa membedakan dengan tajam antara rakyat yang kritis

dan rakyat yang harus dikriminalisasi.

Di negeri ini,

pengusaha outsourcing disembah,

buruhnya diusir.

Upah minimum dimusyawarahkan oleh mereka yang tak pernah tahu

harga beras di warung depan gang.

Mereka berdebat soal statistik,

sementara anak-anak kami menghapus mimpinya

karena biaya kuliah naik—lagi.

Negeri ini tak butuh keadilan,

karena sudah punya semua jenis lembaga hukum:

dari Komnas, Ombudsman, sampai Kompolnas.

Kita punya segalanya…

kecuali rasa malu.

Di negeri ini,

yang mati tak cukup hanya mati.

Ia harus dikubur dua kali:

sekali oleh tanah,

dan sekali lagi oleh berita yang ditenggelamkan.

Cukup selembar rilis pers:

“Kita akan usut tuntas.”

Lalu semua move on,

kecuali keluarga korban—

yang hidupnya kini tinggal nama di kaus solidaritas.

Kami lelah, tapi tak diam.

Kami takut, tapi tak tunduk.

Kami tahu negara ini terlalu sibuk urus elektabilitas,

tapi kami tetap berteriak,

karena diam hanya akan membuat deru rantis

terdengar lebih nyaring dari suara hati.

Dan jika nanti kalian tanya:

“Kenapa rakyat marah?”

Jawabannya sederhana:

karena mereka sudah terlalu lama dicintai dengan cara dilukai.

Salam dari kami, rakyat yang katanya dilindungi.

Tapi tak punya rompi, tak punya kuasa,

hanya punya doa…

dan, kadang-kadang,

jas hujan ojek online yang sobek di bagian dada.

Tak semua orang bisa turun ke jalan, tapi semua orang bisa bersuara. Jika kamu merasa puisi ini mewakili keresahanmu, sebarkan. Karena di negeri yang katanya demokratis, suara rakyat masih perlu disuarakan—berulang kali.

ikomaria
ikomaria Berprofesi sebagai engineer bidang persinyalan kereta api, semenjak lulus S1 Fisika, dengan tetap menjalankan hobi ngeblog sebagai sarana untuk berekspresi dan berbagi dalam bentuk tulisan, dari secuil pengalaman ringan guna menyalurkan hobi dan sekedar berbagi.

Post a Comment for "“Negeri Ini Terlalu Hebat untuk Sekadar Keadilan”"