Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

“Negeri yang Aku Cintai, Mengapa Kau Menyakitiku?”

https://www.tehiis.com/

Aku mencintai Indonesia, tapi akhir-akhir ini aku sering bertanya—apa balasan dari cinta ini? Beberapa hari yang lalu, aku menyaksikan sebuah video yang membuat dadaku sesak. Seorang tukang ojek online—pemuda biasa, mungkin seumuran sepupuku atau kepoakanku—tergeletak di jalan. Ia jatuh saat hendak menyeberang. Sebuah mobil Brimob melaju, menabraknya. Tapi yang lebih menyayat: mobil itu tak berhenti. Ia melindas tubuh ringkih itu seolah hanya sehelai daun kering. Dan selesai.

Aku terdiam lama. Lalu marah. Lalu patah. Bagaimana bisa? Di tanah yang katanya menjunjung tinggi nilai Pancasila, keadilan sosial hanya menjadi slogan. Seorang pekerja yang setiap hari bergelut dengan terik dan hujan demi sesuap nasi, justru dilindas oleh mereka yang dibayar untuk melindungi. Lebih ironis lagi: kejadiannya berlangsung setelah demo—aksi para buruh yang datang bukan untuk kekacauan, tapi untuk menyuarakan hak-hak yang sudah terlalu lama diabaikan.

Mereka menuntut upah yang layak. Mereka menolak menjadi budak sistem outsourcing. Mereka ingin kejelasan, kepastian, keadilan. Tapi dibalas dengan tembok aparat, pagar kawat, gas air mata—dan nyawa yang melayang di jalanan. Apa artinya negara jika rakyatnya merasa ditinggalkan?

Affan—nama pemuda itu—bukan hanya korban tabrakan. Ia simbol dari kita semua: rakyat kecil yang jatuh karena sistem, dan ketika jatuh, malah dilindas. Lalu dilupakan.

Aku ingin sekali percaya bahwa ada keadilan di negeri ini. Bahwa hukum akan berjalan. Bahwa pelaku akan dihukum, dan keluarga korban akan dipeluk oleh negara. Tapi sejujurnya, harapan itu makin kabur. Karena terlalu sering air mata rakyat hanya dijawab dengan kata “kami akan evaluasi” yang tak pernah benar-benar berarti.

Di tengah semua ini, aku bertanya:

Sampai kapan buruh harus teriak hanya untuk didengar?

Sampai kapan rakyat harus mati untuk didengar suaranya?

Dan sampai kapan kita akan terus menyembah kekuasaan, dan lupa pada kemanusiaan?

Aku tak tahu jawabannya. Tapi aku tahu satu hal: jika kita diam, maka pelindas itu akan merasa berhak. Dan suatu hari, bisa jadi kita atau orang yang kita cintai yang tergeletak di aspal, tanpa suara, tanpa perlindungan.

Maka mari jangan diam.

Suara kita bisa jadi tak sekeras peluru. Tapi suara yang jujur, serentak, dan konsisten—bisa mengguncang istana.

Untuk Affan, dan untuk semua rakyat kecil yang selama ini dilupakan: maaf. Negeri ini belum berhasil menjagamu. Tapi kami tak akan berhenti mencoba.

Indonesia, aku masih mencintaimu. Tapi hari ini cintaku terasa sangat sakit.

ikomaria
ikomaria Berprofesi sebagai engineer bidang persinyalan kereta api, semenjak lulus S1 Fisika, dengan tetap menjalankan hobi ngeblog sebagai sarana untuk berekspresi dan berbagi dalam bentuk tulisan, dari secuil pengalaman ringan guna menyalurkan hobi dan sekedar berbagi.

Post a Comment for "“Negeri yang Aku Cintai, Mengapa Kau Menyakitiku?”"